PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SAFI’IYAH ASEMBAGUS SITUBONDO JAWA TIMUR
SEJARAH PONDOK
Pesantren yang berdiri di Sukorejo ini, pada awalnya adalah sebuah hutan lebat. Setelah mendapat saran dari Habib Musawa dan Kiai Asadullah dari Semarang, Kiai Syamsul Arifin, sebagai pendiri pondok, segera membabat hutan lebat tersebut sekitar tahun 1908 untuk mendirikan pesantren. Dipilihnya hutan yang banyak dihuni binatang buas tersebut, berdasarkan hasil istikharah . Kini pesantren tersebut telah menjadi agen pembangunan bagi masyarakat sekitarnya. Sosoknya tidak seperti œmenara gadingâ, tetapi justru terbuka dan menyatu dengan masyarakat sekitarnya. Tak heran, kalau masyarakat Situbondo merasakan manfaat atas kehadiran pondok pesantren ini.
Banyak cerita yang mengisahkan pesantren yang memiliki santri 15.000 orang ini. Kiai Syamsul, setelah berhasil mendirikan pondok di tengah hutan Desa Sukorejo mulai banyak didatangi orang. Tanpa dirancang dengan tata ruang, hutan yang semula menyelimuti desa tersebut, mulai dipadati rumah penduduk hingga seperti sekarang ini.
Kiai Syamsul memang terus sibuk membesarkan pondoknya. Namun sebagai kiai yang memiliki visi ke depan, ia juga mengirim kedua anaknya, masing-masing As'ad dan Abdurrahman ke Mekkah Saudi Arabia , untuk mendalami ilmu agama. Hal ini dilakukan karena Kiai Syamsul menginginkan anaknya kelak harus melanjutkan kepemimpinan pondok pesantren.
Kiai As'ad yang menjadi ulama kharismatik sekembalinya ke tanah air, punya andil besar dalam lahirnya Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia . Ia terkenal dengan sebutan œmediator berdirinya NU. Karena saat itu, ia yang menyampaikan isyarat samawiyah tentang organisasi para ulama itu dari Kiai Kholil Bangkalan kepada Kiai Hasyim Asy'ari Jombang. Setelah menggantikan kepemimpinan ayahnya yang meninggal tahun 1951, ia pernah menjadi anggota Konstituante.
Di bawah kepemimpinan Kiai As'ad, Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah mengalami perkembangan sangat cepat jika dibanding dengan pondok-pondok yang lain di wilayah Jawa Timur. Sepeninggal Kiai As'ad (1990), kepemimpinan pondok dipegang putranya, KHR Achmad Fawaid. Ia tampil memimpin pondok pada usia 22 tahun. Banyak pihak mengira, sepeninggal Kiai As'ad, Pesantren Sukorejo, sebutan populernya, akan sulit menyerap santri baru. Namun kekhawatiran itu ternyata tidak terbukti. Di bawah kepemimpinan kiai muda ini, ternyata Pesantren Sukorejo terus meroket dengan jumlah santri terus membengkak. Kalau pada zaman Kiai As'ad jumlah santri Salafiyah cuma 5.000 orang pada kepemimpinan Kiai Fawaid membengkak menjadi 15.000 orang.
Pada saat memegang tampuk kepemimpinan pondok, Kiai Fawaid memang masih sangat belia untuk ukuran sebuah pesantren sebesar Sukorejo. Namun kerja kerasnya membuat perkembangan pondok ini jauh melebihi perkiraan orang. Kiai yang selalu berpenampilan rendah diri ini, tak pernah terbawa emosi dalam memimpin pesantren warisan ayahnya.
Ketika Kiai As'ad Syamsul Arifin masih hidup, anak lelaki satu-satunya ini banyak dititipkan kepada kiai besar NU. Maksudnya, tak lain agar ia banyak berguru pada berbagai kiai yang memiliki gaya maupun cara yang berbeda-beda dalam mengelola pesantren. Bagaimana pun, saya tidak akan jauh dari tuntunan Aba kata Kiai Fawaid suatu ketika.
Kiai As'ad Syamsul Arifin yang pernah menjadi mustasyar PBNU selalu mengungkapkan, itu adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil. Dengan kata lain, pesantren adalah ciri khas ke-NU-an yang ditandai dengan adanya lembaga, kiai, dan santri plus kitab-kitab kuning. Adalah gagasan dari sang kiai ini pula agar Munas dan Muktamar ke-27 NU (1984) diselenggarakan di pesantren Kiai As'ad di Sukorejo Situbondo Jawa Timur. Kemudian, diharapkan Munas dan Muktamar selanjutnya sebisanya diadakan di lingkungan pondok pesantren.
Kiai As'ad berkeyakinan, NU itu sendiri adalah ikatan ulama dan kiai pondok. Ironis sekali bila orang memimpin NU tapi tak pernah menjadi santri, apalagi kiai, katanya pada suatu ketika. Dan memang, tumbuhnya sebagian besar pondok di negeri ini dapat dikatakan seirama dengan lahirnya ikatan ulama ahlussunnah waljamaah , yang kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama itu. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Situbondo Jawa Timur.
Penataan Manajemen
Setelah menggantikan ayahnya mengasuh Pesantren Sukorejo, Kiai Fawaid segera membenahi sistem manajemen pondok sesuai dengan tuntutan zaman. Di antara kebijakan yang diterapkan adalah menerapkan manajemen terbuka. Hal ini terlihat dari penunjukan sejumlah santri yang berprestasi untuk memegang posisi penting di kepengurusan pesantren dan lembaga pendidikan yang ada.
Hasilnya, dalam beberapa tahun terakhir ini, pendidikan Pesantren Salafiyah terus berkembang. Sebagai misal, Ma'had Aly li al- Ulum al-Islamiyah Qism al-Fiqh atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ma'had Aly, sebuah lembaga pasca pesantren yang menitikberatkan pada kajian ilmu-ilmu fiqh, berkembang di tangan kiai muda ini. Begitu pula, bangunan fisik pesantren juga mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Begitu juga sistem pendidikan berbasisi kompetensi juga mulai diterapkan di pesantren ini.
Pendidikan tinggi yang ada di pesantren ini menyerap sekitar 2.500 mahasiswa. Ada tiga fakultas di bawah naungan Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII), yakni Fakultas Tarbiyah, Syariah, dan Dakwah. Di samping itu ada dua akademi dan satu sekolah tinggi, yaitu Akademi Perikanan (Aperik), Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (Amik), dan Sekolah Tinggi Ilmu Perawat (Stiper). Juga ada Program Pascasarjana dengan Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam (MPdI) dan Konsentrasi Metodologi Istimbat Hukum Islam (MHI).
Tenaga pengajar IAII antara lain Prof. KH. Ali Yafie, Prof. Dr. KH. Sjeichul Hadi Permono, SH MA, Prof. Dr. Simanhadi Widyo Prakosa, Prof. Dr. Ridwan Nasir, MA, Prof. KH Abdul Halim Muhammad, SH, Dr. Ibrahim Bafadal, MA, HM Moerad baso, MBA, MSc, PhD, dan sejumlah nama lainnya. IAII dan Ma'had Aly sering mengadakan seminar dan sarasehan keislaman, dengan mengundang sejumlah cendikiawan dan birokrat dari Jakarta . Ma'had Aly dalam menjalankan program-programnya menjalin mitra kerja sama dengan lembaga lain. Antara lain Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta , LkiS Jogyakara, Lakpesdam NU, JIL Jakarta, dan ISIS Jakarta.
Perkampungan Pesantren
Pesantren Sukorejo yang menempati areal seluas 11,9 Ha merupakan perkampungan tersendiri. Pedukuhan Sukorejo hampir semuanya untuk area kegiatan pesantren. Lembaga pendidikan yang dikembangkan di pesantren ini mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Bahkan bengkel, kebun, perumahan ustadz/dosen, puskesmas, dan pertokoan, menempati lahan pesantren. Mulai Madrasah Aliyah (kurikulum Depag) sampai SMA/SMK (kurikulum Diknas) menempati areal pesantren yang ditumbuhi nyiur yang rindang.
Selain itu, berbagai keterampilan seperti pertukangan, otomotif, pertanian, dan koperasi tumbuh pesat di kalangan para santri yang berdatangan dari berbagai daerah mulai dari Aceh sampai Papua. Seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII), semua suku hampir terwakili di sini, komentar seorang santri dari Jakarta . Bahkan menurut catatan pengurus pondok, siswa dari Singapura , Malaysia , dan Brunai Darussalam juga belajar di Salafiyah.
Berapa santri harus membayar biaya pendidikan di Pesantren Salafiyah? Biaya pendidikan di pesantren ini, dikenal dengan sebutan Uang Tahunan Pesantren (UTAP), yang dihitung selama setahun dan tergantung tingkat pendidikan. Utap berkisar antara Rp 120.000 sampai Rp 375.000 dan masih bisa diangsur. Namun pesantren ini juga memberikan beasiswa kepada anak yatim dan mereka yang tidak mampu. Pemberian beasiswa itu ditentukan oleh pengurus pondok, berdasarkan kriteria yang sudah diatur.
Fasilitas yang disediakan pesantren kepada para santri antara lain: bangunan asrama, listrik, air serta pendidikan yang dipilihnya. Di samping itu pendidikan non formal, seperti kajian-kajian kitab kuning dan beberapa kursus. Selebihnya, seperti mencuci dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dapat dilakukan santri sendiri atau melalui koperasi yang juga mengelola konsumsi para santri. Konon, koperasi pondok ini setiap tahun mendapat keuntungan Rp 350 juta.
Menjaga jarak
Walaupun Kiai As'ad telah tiada, toh banyak pejabat yang bertandang ke Pesantren Salafiyah. Dalam sebuah wisuda sarjana S1, Drs Mar'ie Muhammad (saat itu masih menjabat Menteri Keuangan) pernah memberikan ceramah ilmiah. Melihat sambutan spontanitas ribuan santri yang berkerumun dengan tetap bersikap santun. Mar'ie yang disertai pakar ekonomi Drs. Kwik Kian gie bertutur, Ini baru arus bawah, bukan rekayasa arus bawah.
Para Gubernur Jawa Timur dan Pangdam V/Brawijaya juga sering berkunjung ke pondok ini. Ini menunjukkan bahwa Pondok Sukorejo terbuka, kata KHR Achmad Fawaid. Menurutnya, tidak hanya tamu-tamu biasa seperti umumnya sering silaturrahim ke pondok, yang resmi seperti para pejabat dan jenderal pun datang meninjau ke pondok.
Pondok Sukorejo memang dekat dengan pejabat, namun tetap menjaga jarak. Karena itu bisa dipahami bila kemudian, setiap Pemilu pondok ini jadi œlangganan para petinggi parpol agar mendukung konsestan tertentu. Toh tak pernah berhasil. Mengapa? Kami akan meneruskan sikap Aba , bahwa seorang nahdliyin (warga NU) harus berpegang khittah ashliyyah yakni khittah 26 itu, ujar Kiai Fawaid. erserah mereka untuk memilih salah satu kontestan. Itu bukan tanggung jawab kami, lanjutnya.
Sikap netral Pondok Sukorejo itulah yang barangkali justru membuat respek baik œarus bawah maupun arus atas pada kiai dan pondok. Karena itu, bila ada pihak tertentu yang ingin silaturrahim, pengasuh pondok ini tetap menerimanya. Silakan tapi ingat jangan mengikat, kata kiai muda ini.
Website Resmi Milik Salafiyah Sukorejo Asembagus : klik disini
Pesantren yang berdiri di Sukorejo ini, pada awalnya adalah sebuah hutan lebat. Setelah mendapat saran dari Habib Musawa dan Kiai Asadullah dari Semarang, Kiai Syamsul Arifin, sebagai pendiri pondok, segera membabat hutan lebat tersebut sekitar tahun 1908 untuk mendirikan pesantren. Dipilihnya hutan yang banyak dihuni binatang buas tersebut, berdasarkan hasil istikharah . Kini pesantren tersebut telah menjadi agen pembangunan bagi masyarakat sekitarnya. Sosoknya tidak seperti œmenara gadingâ, tetapi justru terbuka dan menyatu dengan masyarakat sekitarnya. Tak heran, kalau masyarakat Situbondo merasakan manfaat atas kehadiran pondok pesantren ini.
Banyak cerita yang mengisahkan pesantren yang memiliki santri 15.000 orang ini. Kiai Syamsul, setelah berhasil mendirikan pondok di tengah hutan Desa Sukorejo mulai banyak didatangi orang. Tanpa dirancang dengan tata ruang, hutan yang semula menyelimuti desa tersebut, mulai dipadati rumah penduduk hingga seperti sekarang ini.
Kiai Syamsul memang terus sibuk membesarkan pondoknya. Namun sebagai kiai yang memiliki visi ke depan, ia juga mengirim kedua anaknya, masing-masing As'ad dan Abdurrahman ke Mekkah Saudi Arabia , untuk mendalami ilmu agama. Hal ini dilakukan karena Kiai Syamsul menginginkan anaknya kelak harus melanjutkan kepemimpinan pondok pesantren.
Kiai As'ad yang menjadi ulama kharismatik sekembalinya ke tanah air, punya andil besar dalam lahirnya Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia . Ia terkenal dengan sebutan œmediator berdirinya NU. Karena saat itu, ia yang menyampaikan isyarat samawiyah tentang organisasi para ulama itu dari Kiai Kholil Bangkalan kepada Kiai Hasyim Asy'ari Jombang. Setelah menggantikan kepemimpinan ayahnya yang meninggal tahun 1951, ia pernah menjadi anggota Konstituante.
Di bawah kepemimpinan Kiai As'ad, Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah mengalami perkembangan sangat cepat jika dibanding dengan pondok-pondok yang lain di wilayah Jawa Timur. Sepeninggal Kiai As'ad (1990), kepemimpinan pondok dipegang putranya, KHR Achmad Fawaid. Ia tampil memimpin pondok pada usia 22 tahun. Banyak pihak mengira, sepeninggal Kiai As'ad, Pesantren Sukorejo, sebutan populernya, akan sulit menyerap santri baru. Namun kekhawatiran itu ternyata tidak terbukti. Di bawah kepemimpinan kiai muda ini, ternyata Pesantren Sukorejo terus meroket dengan jumlah santri terus membengkak. Kalau pada zaman Kiai As'ad jumlah santri Salafiyah cuma 5.000 orang pada kepemimpinan Kiai Fawaid membengkak menjadi 15.000 orang.
Pada saat memegang tampuk kepemimpinan pondok, Kiai Fawaid memang masih sangat belia untuk ukuran sebuah pesantren sebesar Sukorejo. Namun kerja kerasnya membuat perkembangan pondok ini jauh melebihi perkiraan orang. Kiai yang selalu berpenampilan rendah diri ini, tak pernah terbawa emosi dalam memimpin pesantren warisan ayahnya.
Ketika Kiai As'ad Syamsul Arifin masih hidup, anak lelaki satu-satunya ini banyak dititipkan kepada kiai besar NU. Maksudnya, tak lain agar ia banyak berguru pada berbagai kiai yang memiliki gaya maupun cara yang berbeda-beda dalam mengelola pesantren. Bagaimana pun, saya tidak akan jauh dari tuntunan Aba kata Kiai Fawaid suatu ketika.
Kiai As'ad Syamsul Arifin yang pernah menjadi mustasyar PBNU selalu mengungkapkan, itu adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil. Dengan kata lain, pesantren adalah ciri khas ke-NU-an yang ditandai dengan adanya lembaga, kiai, dan santri plus kitab-kitab kuning. Adalah gagasan dari sang kiai ini pula agar Munas dan Muktamar ke-27 NU (1984) diselenggarakan di pesantren Kiai As'ad di Sukorejo Situbondo Jawa Timur. Kemudian, diharapkan Munas dan Muktamar selanjutnya sebisanya diadakan di lingkungan pondok pesantren.
Kiai As'ad berkeyakinan, NU itu sendiri adalah ikatan ulama dan kiai pondok. Ironis sekali bila orang memimpin NU tapi tak pernah menjadi santri, apalagi kiai, katanya pada suatu ketika. Dan memang, tumbuhnya sebagian besar pondok di negeri ini dapat dikatakan seirama dengan lahirnya ikatan ulama ahlussunnah waljamaah , yang kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama itu. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Situbondo Jawa Timur.
Penataan Manajemen
Setelah menggantikan ayahnya mengasuh Pesantren Sukorejo, Kiai Fawaid segera membenahi sistem manajemen pondok sesuai dengan tuntutan zaman. Di antara kebijakan yang diterapkan adalah menerapkan manajemen terbuka. Hal ini terlihat dari penunjukan sejumlah santri yang berprestasi untuk memegang posisi penting di kepengurusan pesantren dan lembaga pendidikan yang ada.
Hasilnya, dalam beberapa tahun terakhir ini, pendidikan Pesantren Salafiyah terus berkembang. Sebagai misal, Ma'had Aly li al- Ulum al-Islamiyah Qism al-Fiqh atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ma'had Aly, sebuah lembaga pasca pesantren yang menitikberatkan pada kajian ilmu-ilmu fiqh, berkembang di tangan kiai muda ini. Begitu pula, bangunan fisik pesantren juga mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Begitu juga sistem pendidikan berbasisi kompetensi juga mulai diterapkan di pesantren ini.
Pendidikan tinggi yang ada di pesantren ini menyerap sekitar 2.500 mahasiswa. Ada tiga fakultas di bawah naungan Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII), yakni Fakultas Tarbiyah, Syariah, dan Dakwah. Di samping itu ada dua akademi dan satu sekolah tinggi, yaitu Akademi Perikanan (Aperik), Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (Amik), dan Sekolah Tinggi Ilmu Perawat (Stiper). Juga ada Program Pascasarjana dengan Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam (MPdI) dan Konsentrasi Metodologi Istimbat Hukum Islam (MHI).
Tenaga pengajar IAII antara lain Prof. KH. Ali Yafie, Prof. Dr. KH. Sjeichul Hadi Permono, SH MA, Prof. Dr. Simanhadi Widyo Prakosa, Prof. Dr. Ridwan Nasir, MA, Prof. KH Abdul Halim Muhammad, SH, Dr. Ibrahim Bafadal, MA, HM Moerad baso, MBA, MSc, PhD, dan sejumlah nama lainnya. IAII dan Ma'had Aly sering mengadakan seminar dan sarasehan keislaman, dengan mengundang sejumlah cendikiawan dan birokrat dari Jakarta . Ma'had Aly dalam menjalankan program-programnya menjalin mitra kerja sama dengan lembaga lain. Antara lain Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta , LkiS Jogyakara, Lakpesdam NU, JIL Jakarta, dan ISIS Jakarta.
Perkampungan Pesantren
Pesantren Sukorejo yang menempati areal seluas 11,9 Ha merupakan perkampungan tersendiri. Pedukuhan Sukorejo hampir semuanya untuk area kegiatan pesantren. Lembaga pendidikan yang dikembangkan di pesantren ini mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Bahkan bengkel, kebun, perumahan ustadz/dosen, puskesmas, dan pertokoan, menempati lahan pesantren. Mulai Madrasah Aliyah (kurikulum Depag) sampai SMA/SMK (kurikulum Diknas) menempati areal pesantren yang ditumbuhi nyiur yang rindang.
Selain itu, berbagai keterampilan seperti pertukangan, otomotif, pertanian, dan koperasi tumbuh pesat di kalangan para santri yang berdatangan dari berbagai daerah mulai dari Aceh sampai Papua. Seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII), semua suku hampir terwakili di sini, komentar seorang santri dari Jakarta . Bahkan menurut catatan pengurus pondok, siswa dari Singapura , Malaysia , dan Brunai Darussalam juga belajar di Salafiyah.
Berapa santri harus membayar biaya pendidikan di Pesantren Salafiyah? Biaya pendidikan di pesantren ini, dikenal dengan sebutan Uang Tahunan Pesantren (UTAP), yang dihitung selama setahun dan tergantung tingkat pendidikan. Utap berkisar antara Rp 120.000 sampai Rp 375.000 dan masih bisa diangsur. Namun pesantren ini juga memberikan beasiswa kepada anak yatim dan mereka yang tidak mampu. Pemberian beasiswa itu ditentukan oleh pengurus pondok, berdasarkan kriteria yang sudah diatur.
Fasilitas yang disediakan pesantren kepada para santri antara lain: bangunan asrama, listrik, air serta pendidikan yang dipilihnya. Di samping itu pendidikan non formal, seperti kajian-kajian kitab kuning dan beberapa kursus. Selebihnya, seperti mencuci dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dapat dilakukan santri sendiri atau melalui koperasi yang juga mengelola konsumsi para santri. Konon, koperasi pondok ini setiap tahun mendapat keuntungan Rp 350 juta.
Menjaga jarak
Walaupun Kiai As'ad telah tiada, toh banyak pejabat yang bertandang ke Pesantren Salafiyah. Dalam sebuah wisuda sarjana S1, Drs Mar'ie Muhammad (saat itu masih menjabat Menteri Keuangan) pernah memberikan ceramah ilmiah. Melihat sambutan spontanitas ribuan santri yang berkerumun dengan tetap bersikap santun. Mar'ie yang disertai pakar ekonomi Drs. Kwik Kian gie bertutur, Ini baru arus bawah, bukan rekayasa arus bawah.
Para Gubernur Jawa Timur dan Pangdam V/Brawijaya juga sering berkunjung ke pondok ini. Ini menunjukkan bahwa Pondok Sukorejo terbuka, kata KHR Achmad Fawaid. Menurutnya, tidak hanya tamu-tamu biasa seperti umumnya sering silaturrahim ke pondok, yang resmi seperti para pejabat dan jenderal pun datang meninjau ke pondok.
Pondok Sukorejo memang dekat dengan pejabat, namun tetap menjaga jarak. Karena itu bisa dipahami bila kemudian, setiap Pemilu pondok ini jadi œlangganan para petinggi parpol agar mendukung konsestan tertentu. Toh tak pernah berhasil. Mengapa? Kami akan meneruskan sikap Aba , bahwa seorang nahdliyin (warga NU) harus berpegang khittah ashliyyah yakni khittah 26 itu, ujar Kiai Fawaid. erserah mereka untuk memilih salah satu kontestan. Itu bukan tanggung jawab kami, lanjutnya.
Sikap netral Pondok Sukorejo itulah yang barangkali justru membuat respek baik œarus bawah maupun arus atas pada kiai dan pondok. Karena itu, bila ada pihak tertentu yang ingin silaturrahim, pengasuh pondok ini tetap menerimanya. Silakan tapi ingat jangan mengikat, kata kiai muda ini.
Website Resmi Milik Salafiyah Sukorejo Asembagus : klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar