Jumat, 04 April 2008

REHABILITASI BANGUNAN DAM SELUIS



REHABILITASI BANGUNAN DAM SELUIS



Kota Situbondo yang menjadi Kota Kabupaten SItubondo dialiri oleh sebuah sungai yang berhulu di wilayah Ketinggian (dataran tinggi Bondowoso). Sesampai dikota Situbondo, sungai utama tersebut terpecah menjadi beberapa anak sungai, yang mengarah ke wilayah yang tersebar ke wilayah utara, timur dan barat. Anak-anak sungai ini membelah Situbondo (sebagai kota kabupaten).
Aliran sungai ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Situbondo. Pengaruh yang paling dirasakan adalah ketika terjadi peningkatan debit air hingga berpuluh-puluh kali bahkan ratusan kali dari kondisi paling asat (surut). Debit air yang sangat besar karena peningkatan curah hujan di wilayah hulu mengakibatkan keadaan sungai meluap, karena sungai tidak mampu menandon (menampung) sekian besar jumlah air dalam waktu-waktu tertentu.
Masalah ini adalah masalah yang tercatat dalam sejarah merupakan problem 8 tahunan, demikian kira-kira. Ditahun 94 pernah terjadi, kemudian tahun 2002 juga pernah terjadi sekarang tahun 2008.
Sebetulnya ini memang masalah masyarakat Situbondo secara umum.
Saluran irigasi yang sekarang terbangun dan kemudian ternyata tidak sanggup menampung debit air yang cukup besar tersebut ternyata adalah bangunan kuno. Pintu air Seluis (demikian kalangan orang kebanyakan menyebut) adalah merupakan pintu air yang dibangun Bangsa Belanda untuk saluran irigasi pada proyek-proyek pabrik gula dan perkebunan lainnya di masa Pemerintahan Hindia Belanda dahulu. Bangunan ini dipertahankan hingga sekarang.
Sebagai warga Situbondo, saya tidak melihat dan tidak pernah menyaksikan adanya perubahan mendasar terhadap bangunan tersebut, kecuali beberapa bagian kecil - yang tidak menjawab kemampuan bangunan untuk menghadapi peningkatan jumlah debit air yang semakin besar. Perubahan-perubahan yang ada hanyalah untuk memperbaiki alat pintu air yang rusak ataupun penambahan-penambahan yang tidak prinsip lainnya.
Keadaan iklim regional karena pengaruh iklim global menyebutkan bahwa curah hujan, kecepatan angin, kelembaban udara, dan terik sinar matahari sangat fluktuatif, dan mengarah pada peningkatan intensitas. Artinya kalau dulu kemarau panasnya cuma bikin keringat mengucur, sekarang bukan cuma itu - lebih dari itu. Kalau dulu musim hujan sehari hujan besok tidak dan demikian seterusnya, sekarang tidak - malah berhari-hari hujan, sehari tidak.
Maka, apapun keadaan ini adalah suatu fenomena yang menjadi pijakan bagi pengentasan masalah saluran irigasi yang ada dan mengalami kejadian fatal. Seharusnya, keadaan ini adalah suatu problema yang dapat diatasi dengan Pemecahan yang runtut, sistematis, dan efisien.
Saya sangat senang bila kita terbuka saja dalam membicarakan keadaan dan potensi debit air yang demikian itu.
Bukankah masalahnya adalah :
1. Jumlah dan debit air yang sangat besar pada masa-masa tertentu.
2. Daya tampung sungai yang sempit, tidak dalam, dan belum ada sistem penahan yang cukup baik.
3. Keadaan tanggul yang sudah kuno.
4. Peta wilayah aliran sungai dan agrogeografis yang sudah beralih fungsi sebagai wilayah penampungan warga.
Demikian hal itu menjadi pemikiran saya, bahwa memang kita harus segera meluruskan pendapat kita tentang sungai dan aliran air yang membelah kota Situbondo saya yang tercinta.
Ada baiknya kita melihat saja keadaan yang baik dan menjadi contoh bagi kita, seperti :
Kanal-kanal sungai yang membelah Amsterdam,
Kanal-kanal sungai bangsa Italia,
kanal-kanal sungai bangsa Mesir.
Saya ingin tahu hal-hal itu akan merupakan solusi atau tidak, karena sebetulnya masalah peningkatan debit air dalam masa tertentu itu sangat mudah dijawabnya. Bahkan setiap orang yang ditanya, kalau airnya yang dituang banyak - penampung yang mana yang anda pilih ? cangkir atau timba ?. Tentu mereka menjawab, TIMBA.
Jawaban TIMBA itu bila kita konversi pada masalah banjir di kota Situbondo adalah =
1. Peningkatan daya tampung sungai
2. Pengurangan debit air yang dialirkan dari hulu.
Tergantung pada debit air yang ditengarai akan berlipat pada masa-masa tertentu. Bila debit air adalah 10 kali lipat, maka pengurangan debit air di hulu adalah 10 kali lipat juga. Demikian juga maka, peningkatan daya tampung sungai adalah melebihi 10 kali lipat pula.
Dua hal ini bila dilakukan dengan saling sinergi dan berhubungan, maka alternatif yang dilakukan adalah =
1. Pembangunan bendungan di wilayah hulu. Pembangunan bendungan di wilayah hulu akan menjadi solusi untuk menahan debit air yang besar untuk mengurangi kekuatan air bah ke wilayah kota Situbondo. Bendungan yang bisa kita contoh adalah Bendungan Sutami di Blitar yang menahan debit air dari pegunungan di wilayah selatan menuju aliran air ke arah kota Malang.
2. Pembangunan kanal yang dalam, lebar dan kuat. Lebar dan dalam kanal diukur berdasarkan debit air yang diperkirakan akan meningkat. Tentu, merupakan ukuran lebar dan kedalaman sungai yang sekarang sudah ada dan terbangun. Hal ini nantinya juga harus dibantu dengan penguatan bantaran sungai dengan bangunan yang kuat. Ya, seluruh kanal di Situbondo akan dibangun bantaran yang kuat, tidak boleh ada tawar menawar lagi. (Semen dan pasir adalah 2:1).
3. Pembangunan kanal-kanal baru. Pembangunan kanal-kanal baru adalah pilihan dari upaya menampung peningkatan debit air. Kanal-kanal yang mungkin dibangun berhulu pada sungai-sungai utama yang ada. Kanal-kanal ini kemudian dipecah ke dalam sungai-sungai kecil di dalam kota dan di luar kota. Demikian, barangkali kita bisa membuka diskusi tentang hal ini.



Sumber :

KHAIRDIN
TIKMD (Teknologi Informasi Masyarakat Desa)
TELECENTER PASIR PUTIH
Jalan Raya Pasir Putih
Kecamatan Bungatan
Telp. 0338-39102

Tidak ada komentar:

Posting Komentar